Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)

Kata Kunci: Poligami, dan Maqashid al-Syari’ah Sejarah telah mencatat, poligami telah muncul sebelum Islam datang. Islam telah membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi lelaki yang ingin berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan syarat harus berlaku adil. Dari praktek polig...

সম্পূর্ণ বিবরণ

সংরক্ষণ করুন:
গ্রন্থ-পঞ্জীর বিবরন
প্রধান লেখক: Hasan Syukur (2011311016), Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag
বিন্যাস: Online
ভাষা:Indonesia
প্রকাশিত: Jurusan S-1 Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Pekalongan 2018
অনলাইন ব্যবহার করুন:http://103.142.62.240:80/perpus/index.php?p=show_detail&id=996262
ট্যাগগুলো: ট্যাগ যুক্ত করুন
কোনো ট্যাগ নেই, প্রথমজন হিসাবে ট্যাগ করুন!
id oai:slims-996262
recordtype slims
institution IAIN Pekalongan
collection Book
language Indonesia
format Online
author Hasan Syukur (2011311016)
Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag
spellingShingle Hasan Syukur (2011311016)
Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag
Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)
author_facet Hasan Syukur (2011311016)
Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag
author_sort Hasan Syukur (2011311016)
title Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)
title_short Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)
title_full Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)
title_fullStr Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)
title_full_unstemmed Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur)
title_sort pandangan siti musdah mulia tentang poligami (analisis teori maqashid al-syariah ibnu 'asyur)
description Kata Kunci: Poligami, dan Maqashid al-Syari’ah Sejarah telah mencatat, poligami telah muncul sebelum Islam datang. Islam telah membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi lelaki yang ingin berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan syarat harus berlaku adil. Dari praktek poligami, dimana Islam membolehkan, tetapi praktek dilapangan terjadi adanya pro dan kontra terhadap poligami. Siti Musdah Mulia dalam bukunya “Islam Menggugat Poligami” beliau membahas dari segi keadilan gender, dia mengatakan bahwa selama ini perempuan ditempatkan sebagai the second human, yang berada superioritas kaum laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Secara implisit ungkapan Musdah tersebut menggambarkan bahwa kerangka berpikir yang beliau gunakan adalah dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih (mencegah bahaya lebih utama daripada mendatangkan kebaikan). Sebagai seorang perempuan, Musdah secara pribadi mampu merasakan jika beliau diposisikan sebagai korban poligami. Sehingga yang demikian memunculkan sikap pribadi antipati terhadap poligami, yang kemudian pemikirannya menunjukkan subjektifitas beliau sebagai seorang perempuan. Sementara melalui Maqashid al-Syari’ah, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa syari’at Islam itu memuat tiga konsep egaliterianisme (al-musawah) yang merupakan sebuah kelanjutan metodologis dari asas fitrah dan syumuliah. Menurutnya, egaliterianisme sejatinya telah terpatri sejak manusia mulai nampang dimuka bumi ini. Apa yang datang dari syara’ mesti mengandung makna persamaan. Dengan adanya batasan legalitas dalam maqashid yang ditawarkan oleh Ibnu Asyur, maka sebelum mengkaji lebih dalam penggunaan kaidah darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih harus dilihat dahulu apakah nash yang dimaksud dalam hal ini Q.S. An-Nisa’ ayat 3 benar-benar mempunyai maqashid al-Syari’ah atau tidak. Jika dilihat dari asbabun nuzulnya, tentu akan berbeda dalam konteks praktik poligami sekarang ini dengan berbagai sudut latar belakangnya, setting sosial yang dihadapinya dan juga kondisi mental dari masing-masing pihak. Jadi dalam menentukan apakah pandangan Siti Musdah Mulia tentang poligami mempunyai kekuatan hukum, tentu dapat dipahami bahwa pandangan beliau menurut penulis hanya sebatas subjektifitas yang tidak mempunyai legalitas yang kuat
publisher Jurusan S-1 Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Pekalongan
publishDate 2018
url http://103.142.62.240:80/perpus/index.php?p=show_detail&id=996262
_version_ 1690546276007936000
spelling oai:slims-996262Pandangan Siti Musdah Mulia Tentang Poligami (Analisis Teori Maqashid al-Syariah Ibnu 'Asyur) Hasan Syukur (2011311016) Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag Jurusan S-1 Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Pekalongan 2018 Indonesia SKRIPSI HKI SKRIPSI HKI xiii, 84 hlm., 21X30 cm Kata Kunci: Poligami, dan Maqashid al-Syari’ah Sejarah telah mencatat, poligami telah muncul sebelum Islam datang. Islam telah membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi lelaki yang ingin berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan syarat harus berlaku adil. Dari praktek poligami, dimana Islam membolehkan, tetapi praktek dilapangan terjadi adanya pro dan kontra terhadap poligami. Siti Musdah Mulia dalam bukunya “Islam Menggugat Poligami” beliau membahas dari segi keadilan gender, dia mengatakan bahwa selama ini perempuan ditempatkan sebagai the second human, yang berada superioritas kaum laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Secara implisit ungkapan Musdah tersebut menggambarkan bahwa kerangka berpikir yang beliau gunakan adalah dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih (mencegah bahaya lebih utama daripada mendatangkan kebaikan). Sebagai seorang perempuan, Musdah secara pribadi mampu merasakan jika beliau diposisikan sebagai korban poligami. Sehingga yang demikian memunculkan sikap pribadi antipati terhadap poligami, yang kemudian pemikirannya menunjukkan subjektifitas beliau sebagai seorang perempuan. Sementara melalui Maqashid al-Syari’ah, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa syari’at Islam itu memuat tiga konsep egaliterianisme (al-musawah) yang merupakan sebuah kelanjutan metodologis dari asas fitrah dan syumuliah. Menurutnya, egaliterianisme sejatinya telah terpatri sejak manusia mulai nampang dimuka bumi ini. Apa yang datang dari syara’ mesti mengandung makna persamaan. Dengan adanya batasan legalitas dalam maqashid yang ditawarkan oleh Ibnu Asyur, maka sebelum mengkaji lebih dalam penggunaan kaidah darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih harus dilihat dahulu apakah nash yang dimaksud dalam hal ini Q.S. An-Nisa’ ayat 3 benar-benar mempunyai maqashid al-Syari’ah atau tidak. Jika dilihat dari asbabun nuzulnya, tentu akan berbeda dalam konteks praktik poligami sekarang ini dengan berbagai sudut latar belakangnya, setting sosial yang dihadapinya dan juga kondisi mental dari masing-masing pihak. Jadi dalam menentukan apakah pandangan Siti Musdah Mulia tentang poligami mempunyai kekuatan hukum, tentu dapat dipahami bahwa pandangan beliau menurut penulis hanya sebatas subjektifitas yang tidak mempunyai legalitas yang kuat Kata Kunci: Poligami, dan Maqashid al-Syari’ah Sejarah telah mencatat, poligami telah muncul sebelum Islam datang. Islam telah membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi lelaki yang ingin berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan syarat harus berlaku adil. Dari praktek poligami, dimana Islam membolehkan, tetapi praktek dilapangan terjadi adanya pro dan kontra terhadap poligami. Siti Musdah Mulia dalam bukunya “Islam Menggugat Poligami” beliau membahas dari segi keadilan gender, dia mengatakan bahwa selama ini perempuan ditempatkan sebagai the second human, yang berada superioritas kaum laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Secara implisit ungkapan Musdah tersebut menggambarkan bahwa kerangka berpikir yang beliau gunakan adalah dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih (mencegah bahaya lebih utama daripada mendatangkan kebaikan). Sebagai seorang perempuan, Musdah secara pribadi mampu merasakan jika beliau diposisikan sebagai korban poligami. Sehingga yang demikian memunculkan sikap pribadi antipati terhadap poligami, yang kemudian pemikirannya menunjukkan subjektifitas beliau sebagai seorang perempuan. Sementara melalui Maqashid al-Syari’ah, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa syari’at Islam itu memuat tiga konsep egaliterianisme (al-musawah) yang merupakan sebuah kelanjutan metodologis dari asas fitrah dan syumuliah. Menurutnya, egaliterianisme sejatinya telah terpatri sejak manusia mulai nampang dimuka bumi ini. Apa yang datang dari syara’ mesti mengandung makna persamaan. Dengan adanya batasan legalitas dalam maqashid yang ditawarkan oleh Ibnu Asyur, maka sebelum mengkaji lebih dalam penggunaan kaidah darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih harus dilihat dahulu apakah nash yang dimaksud dalam hal ini Q.S. An-Nisa’ ayat 3 benar-benar mempunyai maqashid al-Syari’ah atau tidak. Jika dilihat dari asbabun nuzulnya, tentu akan berbeda dalam konteks praktik poligami sekarang ini dengan berbagai sudut latar belakangnya, setting sosial yang dihadapinya dan juga kondisi mental dari masing-masing pihak. Jadi dalam menentukan apakah pandangan Siti Musdah Mulia tentang poligami mempunyai kekuatan hukum, tentu dapat dipahami bahwa pandangan beliau menurut penulis hanya sebatas subjektifitas yang tidak mempunyai legalitas yang kuat 2X4.315 http://103.142.62.240:80/perpus/index.php?p=show_detail&id=996262 SK HKI 19.016 SYU p 19SK1911016.00 http://103.142.62.240:80/perpus/images/docs/cover_hasan_syukur.png.png
score 11.174184