Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah

Kata kunci: Hak Ex Officio Hakim, Talak, dan Maqaṣid al-Syari’ah. Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Sebagaimana bunyi pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 RBg ayat (3), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang tidak diminta oleh para pihak. Akan tetapi d...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Authors: Lutfiyah (2011110061), Dr. Akhmad Jalaludin, M.A, H. Saif Askari, S.H., M.H
Format: Online
Language:Indonesia
Published: Prodi S-1 Hukum Keluarga Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Pekalongan 2016
Online Access:http://103.142.62.240:80/perpus/index.php?p=show_detail&id=992352
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
id oai:slims-992352
recordtype slims
institution IAIN Pekalongan
collection Book
language Indonesia
format Online
author Lutfiyah (2011110061)
Dr. Akhmad Jalaludin, M.A
H. Saif Askari, S.H., M.H
spellingShingle Lutfiyah (2011110061)
Dr. Akhmad Jalaludin, M.A
H. Saif Askari, S.H., M.H
Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah
author_facet Lutfiyah (2011110061)
Dr. Akhmad Jalaludin, M.A
H. Saif Askari, S.H., M.H
author_sort Lutfiyah (2011110061)
title Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah
title_short Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah
title_full Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah
title_fullStr Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah
title_full_unstemmed Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah
title_sort hak ex officio hakim dalam memutuskan perkara cerai talak ditinjau dari perspektif maqashid al-syari'ah
description Kata kunci: Hak Ex Officio Hakim, Talak, dan Maqaṣid al-Syari’ah. Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Sebagaimana bunyi pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 RBg ayat (3), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang tidak diminta oleh para pihak. Akan tetapi dalam perkara cerai talak, pasal 41 huruf (c) UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya perlindungan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri". Pasal tersebut merupakan sebagai dasar dari ex officio hakim yang merupakan gambaran dari hak aktif dari hakim yang dirasa bertentangan dengan pasal 178 HIR dan 189 Rbg, tetapi hal itu dibenarkan oleh para hakim dan selalu digunakan dalam memutus perkara cerai talak. Atas pertimbangan apa saja hakim mengambil langkah tersebut jika kita kaitkan dengan maqashid syari’ah yang terciptanya lima pokok hal (terpeliharanya akal, jiwa, keturunan, agama, dan harta). Masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana hak ex officio hakim dalam memutus perkara cerai talak dan bagaimana kebenaran ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi hak ex officio hakim dalam memutus perkara cerai talak dan untuk mengetahui kebenaran ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Penelitian ini juga mempunyai kegunaan baik secara teoritis maupun praktis. Jenis penelitiannya adalah library reseach (pustaka) dengan pendekatan yuridis normative kualitatif. Sumber data: sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun teknik pengumpulan datanya dengan cara dokumentasi. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder akan dianalisis secara preskriptif, yakni dimaksudkan memberikan argumentasi atas hasil yang akan diteliti dengan menggunakan metode deduktif induktif. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan hak ex officio hakim dalam perkara perceraian tidaklah salah karena hal ini sudah dipertimbangkan hakim karena agar hakim dalam melaksanakan hukum agar tercipta suatu tujuan hukum yakni asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum. Pemberian nafkah iddah, mut’ah dan hadlanah menurut penulis merupakan kebutuhan hajiyyah, yakni hal tersebut tidak akan sampai menghancurkan lima pokok tujuan hidup yakni memelihara jiwa, akal, keturunan, agama, serta harta, tetapi jika tidak diberikan hanya akan mempersulit pihak istri dan anak. Serta hal tersebut juga bertujuan untuk melindungi kehormatan istri dan untuk menjaga tali silaturrahim kedua belah pihak keluarga.
publisher Prodi S-1 Hukum Keluarga Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Pekalongan
publishDate 2016
url http://103.142.62.240:80/perpus/index.php?p=show_detail&id=992352
_version_ 1690546487078944768
spelling oai:slims-992352Hak Ex Officio Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Al-Syari'ah Lutfiyah (2011110061) Dr. Akhmad Jalaludin, M.A H. Saif Askari, S.H., M.H Prodi S-1 Hukum Keluarga Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Pekalongan 2016 Indonesia SKRIPSI AS/HK SKRIPSI AS/HK xiv, 85 hlm.; 21X 30 cm Kata kunci: Hak Ex Officio Hakim, Talak, dan Maqaṣid al-Syari’ah. Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Sebagaimana bunyi pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 RBg ayat (3), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang tidak diminta oleh para pihak. Akan tetapi dalam perkara cerai talak, pasal 41 huruf (c) UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya perlindungan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri". Pasal tersebut merupakan sebagai dasar dari ex officio hakim yang merupakan gambaran dari hak aktif dari hakim yang dirasa bertentangan dengan pasal 178 HIR dan 189 Rbg, tetapi hal itu dibenarkan oleh para hakim dan selalu digunakan dalam memutus perkara cerai talak. Atas pertimbangan apa saja hakim mengambil langkah tersebut jika kita kaitkan dengan maqashid syari’ah yang terciptanya lima pokok hal (terpeliharanya akal, jiwa, keturunan, agama, dan harta). Masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana hak ex officio hakim dalam memutus perkara cerai talak dan bagaimana kebenaran ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi hak ex officio hakim dalam memutus perkara cerai talak dan untuk mengetahui kebenaran ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Penelitian ini juga mempunyai kegunaan baik secara teoritis maupun praktis. Jenis penelitiannya adalah library reseach (pustaka) dengan pendekatan yuridis normative kualitatif. Sumber data: sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun teknik pengumpulan datanya dengan cara dokumentasi. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder akan dianalisis secara preskriptif, yakni dimaksudkan memberikan argumentasi atas hasil yang akan diteliti dengan menggunakan metode deduktif induktif. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan hak ex officio hakim dalam perkara perceraian tidaklah salah karena hal ini sudah dipertimbangkan hakim karena agar hakim dalam melaksanakan hukum agar tercipta suatu tujuan hukum yakni asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum. Pemberian nafkah iddah, mut’ah dan hadlanah menurut penulis merupakan kebutuhan hajiyyah, yakni hal tersebut tidak akan sampai menghancurkan lima pokok tujuan hidup yakni memelihara jiwa, akal, keturunan, agama, serta harta, tetapi jika tidak diberikan hanya akan mempersulit pihak istri dan anak. Serta hal tersebut juga bertujuan untuk melindungi kehormatan istri dan untuk menjaga tali silaturrahim kedua belah pihak keluarga. Kata kunci: Hak Ex Officio Hakim, Talak, dan Maqaṣid al-Syari’ah. Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Sebagaimana bunyi pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 RBg ayat (3), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang tidak diminta oleh para pihak. Akan tetapi dalam perkara cerai talak, pasal 41 huruf (c) UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya perlindungan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri". Pasal tersebut merupakan sebagai dasar dari ex officio hakim yang merupakan gambaran dari hak aktif dari hakim yang dirasa bertentangan dengan pasal 178 HIR dan 189 Rbg, tetapi hal itu dibenarkan oleh para hakim dan selalu digunakan dalam memutus perkara cerai talak. Atas pertimbangan apa saja hakim mengambil langkah tersebut jika kita kaitkan dengan maqashid syari’ah yang terciptanya lima pokok hal (terpeliharanya akal, jiwa, keturunan, agama, dan harta). Masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana hak ex officio hakim dalam memutus perkara cerai talak dan bagaimana kebenaran ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi hak ex officio hakim dalam memutus perkara cerai talak dan untuk mengetahui kebenaran ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Penelitian ini juga mempunyai kegunaan baik secara teoritis maupun praktis. Jenis penelitiannya adalah library reseach (pustaka) dengan pendekatan yuridis normative kualitatif. Sumber data: sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun teknik pengumpulan datanya dengan cara dokumentasi. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder akan dianalisis secara preskriptif, yakni dimaksudkan memberikan argumentasi atas hasil yang akan diteliti dengan menggunakan metode deduktif induktif. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan hak ex officio hakim dalam perkara perceraian tidaklah salah karena hal ini sudah dipertimbangkan hakim karena agar hakim dalam melaksanakan hukum agar tercipta suatu tujuan hukum yakni asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum. Pemberian nafkah iddah, mut’ah dan hadlanah menurut penulis merupakan kebutuhan hajiyyah, yakni hal tersebut tidak akan sampai menghancurkan lima pokok tujuan hidup yakni memelihara jiwa, akal, keturunan, agama, serta harta, tetapi jika tidak diberikan hanya akan mempersulit pihak istri dan anak. Serta hal tersebut juga bertujuan untuk melindungi kehormatan istri dan untuk menjaga tali silaturrahim kedua belah pihak keluarga. Hukum Peradilan - Islam Hakim Perspektif Maqashid Al-Syari'ah Cerai - Talak Hak Ex Officio 2X4.65 http://103.142.62.240:80/perpus/index.php?p=show_detail&id=992352 SK HKI 16.006 LUT h 16SK1611006.00 http://103.142.62.240:80/perpus/images/docs/cover_lutfiyah.png.png
score 10.821803